Tepat sepekan didapuk menjadi Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman menemui komisi XI DPR RI. Maksud kedatangan Iman adalah menyampaikan lima usulan untuk RUU tentang Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Usula tersebut di antaranya, BEI mendukung redefinisi efek supaya menjadi objek pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal oeh OJK. Hal itu diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan sektor keuangan yang saat ini bergerak cukup cepat.
Dengan redefinisi efek yang lebih meluas. Iman menilai pengaturan dan pengawasan sektor pasar modal oleh OJK juga kaan menjadi lebih luas dan dapat digunakan sebagai landasan hukum pengaruan berbagai perkembangan instrumen keuangan kekinian. Untuk saat ini, definisi efek yang berlaku di Indonesia adalah surat berharga.
“Apabila dimungkinkan menjadi instrumen efek. Mengingat ke depannya kita bicara bukan hanya surat berharga. Misalnya carbon trading itu bukan surat berharga, apabila dimungkinkan untuk dicatatkan di BEI, maka bisa terangkum dalam definisi efek tersebut,” kata Iman dalam RDPU dengan Komisi XI DPR, yang dikutip dari Liputan6.com, Rabu (6/7).
Usulan yang kedua, BEI berharap adanya dukungan dalam rangka perluasan bisnis emiten dan pemeratan investor Publik, melalui dukungan pengaturan atas kewajiban bagi perusahaan dengan kriteria tertentu untuk dapat menjadi perusahaan tercatat di bursa.
Contohnya, perusahaan yang mendapatkan nilai ekonomi tinggi dari Indonesia, serta memiliki keterkaitan dengan ekonomi masyarakat banyak, dapat dipertimbangkan untuk menjadi perusahan tercatat di Indonesia sehingga hal tersebut dapat menjadi upaya dalam meningkatkan pemerataan kepemilikan bagi seluruh masyarakat, juga tentunya langkah keterbukaan informasi yang lebih tinggi karena diawasi langsung oleh stakeholder pasar modal.
“Contohnya anak perusahaan dari BUMN, mungkin BUMD. Lalu perusahaan yang melakukan eksplorasi kekayaan alam Indonesia dan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat, seperti perbankan, asuransi, dan sejenisnya,” tutur Iman.
BEI juga mengusulkan dukungan pengaturan terhadap OJK dan/atau bursa efek yang diberikan kewenangan untuk mengatur besaran biaya jasa (brokerage fee) atas layanan anggota bursa ke nasabahnya. Hal ini dmaksudkan agar tidak terjadi predatory pricing di tataran anggota bursa yang dapat berdampak pada pengembangan pasar modal
“Saat ini banyak berkembang berbagai produk dan layanan dari pelaku pasar keuangan dengan biaya murah bahkan 0%. Hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan dalam upaya pengembangan pasar. Yakni antara literasi kepada masyarakat dan kesehatan industri pasar modal ke depan,” kata dia.
U:sulan keempat, BEI berharap adanya dukungan pengaturan terhadap OJK atau bursa efek agar diberikan kewenangan dalam menetapkan atau mencabut suatu lembaga tertentu menjadi self regulatory organization (SRO).
Iman memberi contoh seperti asosiasi pasar modal di Jepang atau Japan Securities Dealers Association (JSDA), yakni SRO yang mangatur dan memantau aktivitas dari 500 perusahaan efek, bank, dan institusi keuangan yang berkaitan dengan aktivitas di pasar modal negeri matahari terbit itu.
“Apabila dimungkinkan ada SRO lainnya, mungkin kami diberikan kewenangan untuk mencabut lisensinya. Tapi kami tidak menutup kemungkinan kalau memang RUU ini dimungkinkan untuk ada SRO lain,” kata Iman.
Usul terakhir, dalam pengembangan pasar modal, BEI berharap agar bursa efek diberikan kewenangan dalam menyediakan pelayanan atau jasa lain, melalui anak perusahaan bursa efek.
“Kami memiliki beberapa anak perusahaan, dan kami menilai kelembagaan bursa efek saat ini dengan struktur anggota bursa dan kepemilikan oleh perusahaan efek sebagai pemegang saham saat ini, masih sangat relevan dalam upaya pengembangan ke depan,” tutup Iman.
Sebagai perbandingan, Iman menyebutkan bursa Thailand masih memiliki struktur kepemilikan yang sama dengan bursa Indonesia, mencatatkan nilai transaksi harian yang dua kali lipat lebih besar dari Indonesia, dengan nilai kapitalisasi pasar yang relatif sama.
Rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) di Thailand adalah USD 2,4 miliar, sedangkan di Indonesia USD 1,1 miliar. Dari sisi kapitalisasi pasar Indonesia tercatat sebesar USD 592 miliar dan Thailand USD 521,5 miliar.
“Artinya, apabila ada penambahan dari pemegang saham bursa efek mungkin kami sangat membuka opsi dilakukan di anak perusahaan. Nanti targetnya akan ada divestasi dari anak-anak perusahaan,”
“Contohnya untuk perdagangan obligasi, ada anak perusahaan di mana mungkin lebih relevan bagi bursa regional untuk masuk atau partner lain. Atau carbon trading misalnya, kita buat unit usaha untuk masuk anak usaha BEI,” imbuhnya memungkasi.