/Mitigasi Kenaikan Inflasi Inti, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 3,75%
Foto : Bank Indonesia (Dok. Detik.com)
Foto : Bank Indonesia (Dok. Detik.com)

Mitigasi Kenaikan Inflasi Inti, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 3,75%

Melalui Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 22-23 Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) secara resmi memutuskan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen.

Kabarnya ini merupakan kali pertama BI menaikkan suku bunga acuannya setelah suku bunga acuan bergerak di level terendahnya, yaitu 3,5% sejak Februari 2021 lalu, untuk mendorong pemulihan ekonomi di tengah hantaman pandemi Covid-19.

Selain menaikkan suku bunga acuan, Bank Sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 3% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,5%.   

Dalam Pengumuman Hasil RDG BI, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa keputusan menaikkan suku bunga merupakan kebijakan yang diambil sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko atau mengurangi dampak terjadinya peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi dan inflasi volatile food.

Selain itu, langkah ini juga diambil untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya ditengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi meski pertumbuhan ekonomi domestik makin kuat.

Terkait inflasi, Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan inflasi inti dan stabilitas rupiah masih terkendali. Kondisi ini menjadi modal bagi BI dalam mempertahankan suku bunga acuan pada bulan ini. Lantaran dengan kondisi tersebut, Perry meyakini inflasi inti bisa melampaui batas atas sasaran BI yang sebesar 4% yoy, sehingga bisa memberi ruang untuk BI menahan suku bunga acuan selama beberapa waktu.

Perry menyampaikan bahwa perekonomian global saat ini berisiko tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang dimana hal ini terjadinya disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Seperti halnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara yakni Amerika Serikat dan China yang juga berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya lantaran disertai dengan risiko stagflasi di sejumlah negara dan resesi di negara maju yang merupakan dampak dari pengetatan kebijakan moneter yang agresif.

Meskipun demikian, Perry menilai ekonomi dalam negeri semakin pulih. Hal ini didorong oleh konsumsi masyarakat yang masih meningkat dan kenaikan ekspor. Oleh karena itu, BI tetap memproyeksi ekonomi RI tumbuh berkisar 4,5 persen-5,3 persen pada 2022.

Namun di sisi lain, BI juga perlu mewaspadai lonjakan inflasi karena harga energi dan pangan terus meningkat.