Pasar keuangna Indonesia masih dalam kondisi melemah sepanjang pekan kemarin. Saham, obligasi dan rupiah merosot bersamaan. Nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 0,27% di pasar spot dalam minggu ini dan masih dekat dengan level psikologis di Rp15.000/USD
Sementara itu, jika melihat imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun terjadi kenaingan meski tipis di 1,5 basis poin (bps) ke 7,26%. Kenaikan yield ini mencerminkan bahwa harga aset yang dianggap rendah risiko ini sedang mengalami penurunan nilai.
Menengok pasar saham, IHSG juga turut melemah 0,8% sehingga berada di 7.740,22 pada penutupan perdagangan Jumat (8/7). Indeks saham Bursa New York akhir pekan ini juga ditutup dengan kondisi bervariasi. Indeks Dow Jones dan S&P 500 melemah 0,15% dan 0,08%< namun Nasdaq Composite berhasil lolos dari koreksi dengan naik 0,12%
Secara global, sentimen akan terjadinya perlambatan ekonomi yang meningkat masih dominan di kalangan pelaku pasar. Di AS, sinyal resesi kembali muncul. Pembalikan kurva imbal hasil atau inverted yield curve terjadi lagi pekan ini.
Dilihat dari sejarah, pembalikan kurva imbali hasil menjadi indikasi bahwa ekonomi AS akan segera memasuki resesi. Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan karena laju inflasi yang sangat tinggi dan juga diterapkannya pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Likuaditas yang terserap di sistem keuangan juga turut membuat investor cemas akan output perekonomian Paman Sam akan mengalami penurunan.
Dampak yang terjadi secara global juga turut mengimbas sektor ekonomi domestik. Dari dalam negeri sendiri, kasus Covid-19 kembali naik karena adanya varian baru Omicron. Namun, dengan kesiapan yang lebih matang, risiko besar akan tutupnya pasar karena pandemi sepertinya tidak akan terjadi. Yang mesti diwaspadai oleh pelaku pasar adalah inflasi yang tinggi dan risiko perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini.
Pekan depan akan ada dua rilis data ekonomi yang dijadikan rujukan oleh pasar. Pertama, di awal pekan depan terdapat data penjualan ritel Mei 2022 dan di akhier pekannya terdapat rilis data nerasa dagang INdonesia untuk periode Juni 2022.
Trading Economics memprediksi penjualan ritel Indonesia Mei 2022 masih tumbuh positif di angka 7,0% secara tahunan mengingat ada momen Lebaran Idul Fitri.
Sementara itu, untuk neraca dagang Indonesia prediksi Trading Economics masih suplus di angka USD 2 miliar atau USD 900 juta lebih rendah dari bulan sebelumnya. Kebijakan pemerintah dengan pembukaan krean ekspor kelapa sawit tentu akan mempengaruhi kinerja neraca dagang Indonesia.
Selain merujuk pada data ekonomi, menilik pasar komoditas, isu yang berpotensi menjadi sentimen penggerak pasar tentunya kenaikan harga batu bara. Komoditi ini kembali tembus USD 400/ton dampak terjadinya krisis energi di Eropa, diperparah terjadinya gangguan rantai pasok di Australia. Kondisi ini tentunya diharapkan dapat menjadi katalis positif baik untuk nilai tukar rupiah maupun pergerakan di pasar saham, khususnya bagi emiten-emiten produsen batu bara.